Senin, 11 Februari 2013

Berdamai dengan Diri Sendiri



Salam kasih teman-teman semua,

aku mau berbagi sesuatu dengan kalian, sesuatu yang mungkin dapat membuka cakrawala diri teman2, sebagaimana aku sendiri yang masih terus belajar untuk hal ini. Ketika kita sadar, kita telah melakukan kesalahan -- entah disengaja maupun tidak, apa yang kita lakukan? Apakah kita merasa baik-baik saja, seolah-olah tidak terjadi sesuatu? Atau kita merasa bersalah karena kita melakukan suatu kesalahan yang besar yang membuat orang lain/orang yang kita kasihi kecewa atau tersakiti oleh kita? Atau malah kita merasa kita telah melakukan suatu dosa yang sangat besar, yang mengakibatkan kita berpikir tidak mungkin Tuhan akan mengampuni kesalahan kita?

Sebagai orang percaya, sikap2 seperti itu tidak berkenan kepada-Nya. Ketika kita telah berbuat salah, jangan ragu untuk meminta maaf. Jangan juga kita justru bersikap menyiksa diri kita sendiri dengan pikiran-pikiran negatif, sehingga membuat kita tidak bisa mengampuni diri kita sendiri. Aku tidak terlepas dari pergumulan ini, namun, Memang inilah kebenarannya teman2, aku sendiripun masih sangat sering terus menerus menyalahkan diriku sendiri ketika orang yang aku kasihi tersakiti oleh karena sifat,perlakuan dan karakterku. bahkan sampai membuat aku merasa bahwa gambar diriku tidak beres. 

Tapi, Mengampuni diri sendiri adalah salah satu cara untuk berdamai dengan diri sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa berdamai dengan Allah dan sesama, jika dengan diri sendiri saja kita masih bermusuhan. Apa yang dimaksud dengan mengampuni diri sendiri ?

Mengampuni diri sendiri bukan berarti penyangkalan terhadap rasa bersalah atau rasa menyesal. Saat mengampuni diri sendiri, kita tidak berkata bahwa kita benar atau kita hanyalah korban yang tidak bersalah; istilah rohaninya: tidak berbuat dosa. Mengampuni diri sendiri tidak serta-merta menghilangkan akibat kesalahan kita atau berakhir dengan rekonsiliasi.

Mengampuni diri sendiri mengharuskan kita untuk membuang perasaan malu, baik yang berasal dari dosa atau kesalahan, karena keduanya dapat melemahkan perkembangan kepribadian diri. Kita tidak perlu hidup dengan rasa bersalah seumur hidup. Kita harus belajar mengampuni diri sendiri.

Mengapa Kita Perlu Mengampuni Diri Sendiri?
Mengampuni diri sendiri adalah sesuatu yang harus dilakukan. Yesus Kristus datang ke dunia untuk mengajar dan memberi contoh tentang pengampunan. Meskipun kita bisa merasa sedih dan menyesali setiap kegagalan, kita tidak perlu terus-menerus tenggelam dalam perasaan bersalah dan malu. Mengampuni diri sendiri merupakan langkah positif yang harus dilakukan. Mengampuni diri sendiri akan menguatkan kita. Mengampuni berarti menganggap seseorang lebih berharga dibanding dosa atau kesalahannya. Kita mungkin bersedih ketika menyadari kekurangan-kekurangan kita. Banyak orang Kristen yang suka menghakimi dan menghukum diri sendiri. Kita bersikap keras terhadap diri sendiri. Kita menjadi tidak efektif jika kita merasa tidak berharga. Saat kita menghabiskan energi untuk menyalahkan diri sendiri, kita sedang membatasi energi untuk pertumbuhan pribadi yang sehat. Citra diri kita akan sangat menderita sampai kita belajar mengampuni diri sendiri. Mengampuni diri sendiri memampukan kita untuk memusatkan perhatian kepada orang lain.

Jika kita tahu orang lain tidak akan menyukai kita bila mereka mengetahui kegagalan kita, maka kita tidak akan bisa mengasihi mereka seperti Yesus melakukannya. Berhenti bersikap merendahkan diri sendiri akan memampukan kita untuk menghasilkan buah Roh. Saat kita menerima pengampunan Kristus dan mengampuni diri sendiri, kita bebas untuk mengasihi.

Setelah kita menerima pengampunan dari Allah, pengampunan terhadap diri sendiri menghapus rasa malu seperti yang rasul Paulus sebut "dukacita menurut kehendak Allah." (2 Korintus 7:10) Keluar dari perlindungan yang salah terhadap rasa malu psikologis menuju aliran-aliran dukacita ilahi yang misterius itu, seperti terbang dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Suatu saat, kita harus melepaskan pegangan kita pada satu-satunya penopang kita agar bisa berpindah ke tempat yang baru. Kita tidak bisa memahami kebebasan untuk mengasihi bila kita tidak membuang rasa malu. Pada satu sisi, mengampuni diri sendiri melalui dukacita menurut kehendak Allah memberi kesempatan bagi kita untuk berhenti memikirkan kegagalan-kegagalan kita. Dengan menjalani hidup yang ekstrem, kita justru bisa memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang kreatif dan bermanfaat bagi hidup kita. Kuasa pengampunan juga mendorong kita untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab.

Apa yang Terjadi Jika Kita Tidak Mengampuni Diri Sendiri?

Jika rasa malu terus berkembang, kita akan terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa malu. Kita mulai terdoktrin bahwa pada dasarnya ada yang salah dengan kita sehingga kita pantas disalahkan. Kita ragu bahwa kita bisa diampuni. Rasa malu yang kita rasakan karena peristiwa masa lalu merenggut kepuasan akan pencapaian baru kita. Kita tidak pernah merasa cukup baik. Rasa malu melumpuhkan kita dan rasa takut membuat kita tidak berdaya. Rasa malu membuat kita merasa dikontrol dan tidak dikasihi. Ketidakberdayaan mengatasi rasa malu dan kemarahan terhadap diri sendiri yang tidak perlu, menuntun kita untuk melakukan bentuk-bentuk kompensasi yang tidak sehat. Kita mungkin memiliki gaya hidup ekstrem, melakukan hal-hal yang bersifat destruktif seperti gila kerja, penyalahgunaan wewenang, kecanduan makanan, seks, atau gila belanja. Kita menenggelamkan diri dalam berbagai kegiatan atau menutup diri dari orang lain. Kita takut kalau orang lain mengetahui aib kita dan melihat diri kita yang sesungguhnya.

Bagaimana Kita Mendapatkan Pengampunan khususnya Jika Orang Lain Tidak Mau Memaafkan Kita?
Orang lain pasti bereaksi terhadap kegagalan-kegagalan kita, tetapi jangan biarkan reaksi mereka membuat kita tidak bisa mengampuni diri sendiri. Seorang pendeta bijak pernah berkata, "Langkah pertama untuk mendapatkan pengampunan dari Allah adalah dengan memberikan pengakuan". Pengampunan diri sendiri dimulai dengan cara yang sama.
Pengampunan adalah suatu gagasan, tindakan dari suatu keinginan, dan sikap. Pengampunan bukanlah suatu perasaan. Coba katakan, "Aku tahu, mengampuni diri sendiri berarti mengakui bahwa aku memiliki keterbatasan, dan bahwa aku tidak bisa selalu menyenangkan orang lain. Karena itu, aku mengampuni diriku sendiri karena rasa malu atas semuanya ini. Aku memilih menolong diriku dan meninggalkan rasa maluku. Aku menerima pengalaman ini untuk membantuku bertumbuh."


Sebagian besar orang menyadari bahwa mengasihi adalah sebuah keputusan. Kita bisa memilih untuk mengasihi dan menghormati diri kita sendirim, tidak peduli apa yang kita rasakan tentang masa lalu karena Allah lebih dulu mengasihi kita. Mengampuni diri sendiri adalah bagian dari mengasihi diri sendiri, sehingga kita bisa mengasihi orang lain.

Sepanjang hidup, kita terus menyimpan perasaan malu. Kita mengumpulkannya sedikit demi sedikit ke dalam sebuah ransel mental. Setiap kali kita mengalami rasa malu yang baru atau menghidupkan kembali sengatan rasa malu sebelumnya, kita melemparkan perasaan2 itu ke dalam ransel khayalan kita. Kita menyeret beban berat yang terus bertambah setiap hari. Perasaan Benci, kecewa, sakit hati dan semua perasaan yang jelek kita angkat didalam ransel kita itu. Berat banget loh kalo gitu teman2, kita akan semakin sulit untuk bangun kembali. Akan tetapi, saat kita mengampuni diri sendiri, kita sedang melemparkan semua beban kita ke tempat sampah dan berjalan bebas dari rasa malu. Tanpa ada ransel untuk menyimpan rasa malu pada masa yang akan datang, kita bisa menjadikan pengampunan diri sendiri sebagai gaya hidup. dan taukah kamu rasanya? itu sangat plong dan luar biasa kita akan mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain lalu kemudian perlahan2 kita mampu untuk membuka kembali hati kita.

Kita bisa memercayai pengampunan kita sendiri. Jika perasaan ragu datang kembali, kita boleh mengakui perasaan tersebut sebagai suatu kenyataan, lalu menenangkan diri sambil mengingat kapan dan di mana kita telah mengampuni diri sendiri. Saya tidak mengerti mengapa perasaan yang mengganggu itu kadang-kadang muncul lagi ke permukaan setelah pengampunan diri sendiri. Barangkali emosi kita cenderung kembali ke pola lama yang kita kenal. Mungkin Yesus mengizinkan perasaan-perasaan tersebut untuk mengingatkan kita betapa Dia menghendaki kita untuk terus datang kepada-Nya dengan segala perasaan atau keinginan yang mengganggu kita. Setelah semuanya itu, Dia berkata, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28)

Sesudah kita benar-benar mengampuni diri sendiri, kita bisa melatih pikiran untuk memutar kembali video pengampunan diri sendiri. Kita bisa mengingat bagaimana kita membuang ransel yang penuh dengan rasa malu kita ke tempat sampah, dan kita bisa merasa tenang dalam kebenaran. Setelah itu kita bisa memandang ke depan ke masa depan dengan bebas, penuh dengan petualangan, dan penuh dengan harapan. Bahkan lebih dari itu, kita bisa memusatkan perhatian untuk mengasihi sesama.


Tuhan Yesus Memberkati

Bertahan

Sebagai orang Kristen, kita bukan hanya dipanggil untuk percaya, melainkan juga untuk menderita. Dalam hal ini, yg dimaksud menderita adalah keadaan yang tidak menyenangkan demi mempertahankan Iman di dalam Kristus, bukan menderita karena kesalahan-kesalahan yg kita buat. INGATT...!! "Bukan Menderita karna kesalahan yg kita perbuat sendiri".

Yesus Kristus juga menderita untuk menebus dosa-dosa manusia, demikian juga para rasul dan pengikut Kristus yg lain. Contoh yg sering kita dengar, Rasul Paulus yg menderita dibawah penjara Roma yg gelap.
Hal itu sedikit dpt membuktikan bahwa di dalam mengiring Yesus Kristus, ada harga yang harus dibayar.
Meski demikian, Tuhan Yesus tidak akan meninggalkan umat-Nya sendirian. Dia akan selalu menopang dan menjaga umat-Nya untuk dapat bertahan dalam penderitaan.

Walaupun kita terjatuh sekalipin Dia akan selalu memampukan kita untuk bangkit lagi,
seperti lirik lagu chakra khan "aku terjatuh dan takbisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam lautan luka dalam, aku tersesat dan tak tai arah jalan pulang. Aku Tanpa-MU, butiran debu. Artinya kita tanpa Allah, nafas kehidupan Allah, ya kita hanyalah kumpulan2 debu2 yg tdk ada artinya apa2. :)

Ingat..!!
Dibalik penderitaan itu ada Kemuliaan besar yg telah Tuhan sediakan bagi umat-Nya. Kemuliaan yg akan kita terima jika kita bertahan.

Selamat kembali bekerja dan beraktivitas..
Tuhan Yesus Memberkati

Ttd


-EAS-

Sumber Referensi: Kisah Sabda

Selasa, 05 Februari 2013

Kecewa Kepada Allah

…….”Saya pernah gereja disana, disini, saya juga pelayan pemuda, bermain musik, menjadi MC, menjadi Pengurus pemuda. Lalu saya bertanya “Sekarang ke gereja mana?” Jawabannya, “Tidak ke gereja.” Saya bertanya, “Sekarang tidak ke gereja?” Dia merokok dengan satu tangannya ditaruh di belakang. Asap rokoknya terus mengepul seraya berbicara dan ngomong dengan saya. Saya rasa dia sudah melarikan diri dari Tuhan. Lalu saya bertanya, “Mengapa tidak ke gereja?” Dia menjawab, “Kecewa.” “Kecewa dengan siapa?” tanya saya. “Terus terang kecewa kepada Tuhan,” setelah mengatakan kalimat itu, dia lalu pergi.

Saya tidak habis-habisnya memikirkan kalimat itu. Berhakkah? Berhakkah manusia yang dicipta kecewa terhadap Sang Penciptanya? Ini yang menjadi pemikiran saya. Who are we? We think we deserve the right to claim we are disappointed by God. Siapakah kita yang berhak mengatakan, “Aku dikecewakan oleh Tuhan. Aku kecewa terhadap Tuhan.”

Kalimat ini membuat saya memutar pikiran sepanjang satu hari itu. Teologi apakah ini? Teologi ajaran apakah yang mengajar manusia, sehingga berani mengatakan, “Allah mengecewakan saya.” Kalau Allah mengecewakan seseorang, hanya karena beberapa sebab, yaitu:
Pertama, Allah berhutang kepada saya dan Dia lupa bayar, maka saya kecewa.
Kedua, Allah menipu saya, akhirnya saya dirugikan, maka saya kecewa.
Ketiga, Allah berjanji sesuatu, akhirnya Dia tidak melunaskannya, sehingga saya kecewa.

Tiga presuposisi ini, semuanya tidak memiliki dasar Alkitab. Allah tidak pernah berhutang kepada manusia. Teologi yang benar mengatakan, manusia berhutang kemuliaan Allah dan tidak bisa membayar sendiri. Yang seharusnya dikatakan adalah kitalah yang mengecewakan Tuhan, bukan Tuhan yang mengecewakan kita. Allah tidak pernah menjanjikan sesuatu yang Dia sendiri tidak melunaskannya, kecuali janji itu adalah semacam tafsiran manusia dan “misleading” (penyesatan) dari orang yang salah mengerti Alkitab. Jadi, Allah tidak berhutang kepada saya, Allah tidak sembarang berjanji kepada saya, Allah tidak mungkin menipu saya.

Jika demikian apakah penyebabnya? Penyebab pertama adalah adanya pengkhotbah-pengkhotbah yang memberikan tafsiran yang salah terhadap ayat-ayat Alkitab. Misalnya, yang percaya kepada Tuhan pasti dapat kekayaan, pasti dapat hidup yang subur, makmur di dalam materi. Yang percaya kepada Tuhan pasti tidak ada marabahaya, penyakit, kesulitan, dan kemiskinan. Misalnya lagi, jikalau engkau memberikan persembahan, Tuhan akan mengembalikan sepuluh kali lipat ganda. Apakah saudara pernah mendengar khotbah semacam ini? Hal ini terjadi sejak kira-kira 25 tahun yang lalu, selangkah demi selangkah merambat masuk ke dalam mimbar-mimbar gereja yang tidak bertanggung jawab. Tetapi setiap statement yang tidak benar, bisa juga mendapatkan tunjangan dari Kitab Suci. Jadi ada ayat-ayat yang sepertinya mendukung statement itu, karena dimengerti secara fragmentaris, dan bukan secara totalitas. Karena mengambil ayat sebagian-sebagian lalu mengkhotbahkannya, sangat mungkin terjadi misleading bagi orang lain yang mendengarnya.

Kedua, pengertian yang tidak membandingkan antara satu ayat dengan ayat yang lain, mengakibatkan tidak diperolehnya prinsip total Kitab Suci. Mengambil suatu keputusan melalui bagian-bagian, lalu membuat statement. Hal ini sangat membahayakan. Saudara sebagai pengkhotbah, sebagai pemimpin gereja, sebagai pembawa firman, sebagai pemberita kehendak Tuhan, harus menghindarkan diri dari hal-hal semacam itu.

Saya percaya, bukan dia saja, mungkin seluruh Indonesia berani mengatakan, “Aku kecewa terhadap Tuhan.” Mungkin sudah puluhan juta orang pernah mempunyai ajaran salah yang menuju pada konklusi bahwa Allah menipu dia, Allah tidak melunaskan janji-Nya, Allah berhutang kepada dia sehingga dia berani mengatakan, “Saya kecewa kepada Tuhan.”

Tahun 1965, kalau saya tidak salah ingat, gunung Agung meletus di Bali. Lavanya mengalir begitu cepat, sehingga banyak orang yang tidak sempat mengungsi, mendadak terkena lava. Pada waktu itu saya berada di Bandung, lalu seorang wartawan datang kepada saya, “Pak Pendeta, bolehkah saya tunjukkan kira-kira 180 foto yang saya ambil dengan cepat pada waktu orang-orang terkena lava itu?” Saya sedang makan ketika wartawan itu datang dan duduk di samping saya. Waktu saya melihat foto-foto tersebut, rasanya saya ingin muntah. Ada orang yang sedang tidur, lavanya datang dan saat itu juga separuh badannya menjadi tulang, dan separuhnya masih daging. Di tengah-tengah sambungan antara daging dan tempat tulang itu, ada satu garis putih yang besar dan bengkak, seperti kulit babi yang digoreng jadi rambak / krupuk. Bagian yang terkena api panas itu langsung melembung. Satu bagian masih daging biasa, bagian yang lain, matang menjadi seperti rambak. Meskipun saya mau muntah tapi saya dikejar oleh kuriositas, jadi satu per satu foto tersebut saya lihat sambil mau mengeluarkan air mata, sambil mau menangis, sambil mau berteriak, tetapi tidak bisa. Namun ada beberapa foto yang menggugah teologi saya, yaitu lava yang sudah dekat kira-kira tiga meter lagi, dan dalam beberapa detik akan terkena lava, tetapi orang tersebut tidak lari, ia sedang berlutut berdoa kepada dewa. Waktu saya lihat, saya berpikir, “Wah! Ini begitu beda dengan orang Kristen. Mengapa ada orang Kristen pada hari lancar, dia berani berdosa. Sedikit rugi, langsung mencacimaki Tuhan Allah. Mengapa orang kafir waktu mereka menghadapi kecelakaan, mereka tidak memaki-maki dewa mereka. Mereka minta pertolongan dewa, jangan sampai memusnahkan mereka. Mereka mengaku kesalahan, mengaku dosa.” Pemikiran ini terus mempengaruhi saya sampai sekarang, sudah lebih dari 30 tahun.

Pemikiran itu adalah, Why?…Why? … What causes that? What causes it to be like that? Apa salahnya pemberitaan kita? Apa salahnya khotbah kita, sehingga anggota kita selalu merasa dia sepatutnya menerima anugerah Tuhan dan tidak boleh dirugikan apapun oleh Tuhan, kalau tidak, Allah harus dicela, dimaki, dipersalahkan, dan akhirnya dia keluar dari gereja.

Lalu dari situ, pemikiran saya mulai berkembang pada the theology of suffering, the theology of worship, the teology of understanding grace, theology of resistant to the tribulation. Berkembanglah begitu banyak pemikiran saya semenjak melihat 180 foto tersebut. Mengapakah orang-orang Asia dengan sedikit kesulitan, meninggalkan gereja, keluar dari gereja? Mengapa orang Yahudi yang dibantai, dibunuh dengan gas, dihancurkan hidupnya, enam juta setengah jiwa, di dalam holocaust, tetapi mereka tetap menyembah Allah, tetap takut kepada Tuhan dan mereka tidak pernah meninggalkan iman mereka? Jadi, what’s wrong? Apa yang salah di dalam pemberitaan kekristenan? Jawaban saya adalah satu kalimat, “Kita lebih suka memberitakan Allah itu kasih adanya, mengobral murah kasih Allah daripada berani mengkhotbahkan Allah itu suci dan adil, Dia akan menghakimi dosa seluruh dunia.”

Dari konklusi ini, pemikiran saya berkembang lagi, di manakah hamba-hamba Tuhan yang berani menyatakan tahta kemarahan Tuhan, keadilan Tuhan, kesucian Tuhan, untuk mengingatkan bangsa dan zaman ini? Semakin lama semakin sedikit. Tetapi pendeta yang berusaha memberikan injil palsu supaya gerejanya bertumbuh, supaya lebih banyak orang mendengar khotbahnya dengan kalimat, “Percayalah Tuhan, semua penyakit akan disembuhkan, semua kesulitan diatasi, semua akan diberikan kepada engkau” begitu banyak sekali, bahkan di dalam aliran Pantekosta dan Kharismatik sudah teracun satu pikiran: dengan banyak mujizat yang dilihat, orang akan beriman.

Namun hari ini saya akan menunjukkan dua prinsip. Prinsip pertama, Yohanes Pembaptis tidak pernah melakukan satu mujizat pun, namun banyak orang yang percaya melalui dia. Karena sifat lurus, jujur, berani, dan tidak mau dipengaruhi oleh dosa sehingga dia berkhotbah dengan kuasa luar biasa. Itu catatan Alkitab. Yohanes tidak pernah melakukan satu mujizat pun, teatpi yang percaya karena dia banyak sekali. Kedua, Islam adalah satu agama yang tidak pernah mengembangkan anggota mereka melalui daya tarik mujizat. Tidak pernah hal itu terjadi.

Pada zaman filsuf David Hume, one of the greatest scepticist in the history of human philosophy, ia mengatakan bahwa salah satu sebab yang dipakai oleh orang Kristen untuk membuktikan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang sah adalah tidak adanya mujizat pada agama lain, tetapi hanya ada pada agama Kristen dan dimuat di dalam Kitab Suci. Tetapi cara dia melawan kekristenan justru dengan pertanyaan pernahkah mujizat yang dicatat dalam Kitab Suci orang Kristen, terjadi? Itupun belum bisa dibuktikan. Maka memakai bukti bahwa Kristen ada mujizat maka Kristen itu sah, pada hakekatnya tidak pernah mempunyai dukungan bukti. Apakah yang dicatat dalam Kitab Suci sungguh-sungguh pernah terjadi? Jadi dia menjadi scepticist. Itu namanya to destroy from the foundation the seeking of Christian foundation.

Orang Kristen pada zaman itu selalu memakai fondasi-fondasi yang salah yang sebenarnya bukan fondasi untuk membangun iman. Kalau kita membiasakan diri menjadi pemberita, hoki, fat choi, property, kesuksesan sebagai imbalan kalau percaya kepada Tuhan, maka kita akan menciptakan orang-orang yang akhirnya melarikan diri dari kekristenan dengan kalimat, “Aku tidak lagi ke gereja karena aku kecewa kepada Tuhan, aku tidak berpelayanan lagi karena aku kecewa kepada Tuhan.” Saudara seharusnya mempersiapkan diri menjadi hamba Tuhan yang bertanggung jawab dalam pemberitaan firman, sehingga anggotamu selalu menuntut, “Saya jangan menipu Tuhan, saya jangan berhutang kepada Tuhan, saya harus menepati apa yang saya janjikan kepada Tuhan.” Dan bukan berkata, “Tuhan berutang kepada saya, Tuhan menipu saya, apa yang Tuhan janjikan, tidak saya dapatkan, maka saya berhak melawan dan kecewa kepada Dia.” Kiranya renungan pendek ini menjadi kekuatan bagi kita untuk menegakkan kembali kebenaran di dalam zaman ini.

 
Sumber: Majalah MOMENTUM No. 39 - Maret 1999

Musa : Pelajaran 2 : “Kerendahatian”


Pelajaran ke 2 : “Kerendahatian

Dalam Kisah para rasul 7: 25, stefanus mengatakan bahwa musa mengetahui bahwa ia memang akan menjadi pembebas bangsa israel. Musa telah membunuh seorang mandor mesir dalam usahanya untuk membebaskan bangsa israel dengan kekuatannya sendiri. Ia telah berusaha menjadi seorang pembebas tanpa berpikir sama sekali mengenai Allah. Namun, bagaimanakah keadaan musa setelah usaha yang dilakukan itu gagal? Lihatlah seberapa jauh musa telah terus dibentuk Allah. Musa tidak lagi tinggal di sebuah istana, tetapi di tengah  padang gurun (Merendahkan Hati). Ia bukan memimpin sebuah bangsa melainkan kawanan domba (Merendahan Hati).Ia tidak lagi melayani Firaun yang agung, tetapi ia melayani mertuanya (Merendahkan Hati).

Apa yang dialami musa tersebut bukanlah semacam retret akhir pekan. Musa menjalani 40 tahun yang panjang di padang gurun, belajar untuk bersekutu dengan Allah, juga keluar dari kesesatan dan pemikiran rohani yang berbahaya dari budaya mesir, dan memilah-milah kebenaran yang telah diajarkan orang tuanya dan yitro mertuanya.

Ketika Allah memanggil Musa di akhir tahun-tahun yang panjang itu, apakah yang telah dipelajarinya? Musa telah belajar untuk puas dengan menjadi seorang gembala rendahan. Musa telah mempelajari kelemahan-kelemahannya sendiri. Ia telah mulai belajar memiliki hati yang lemah lembut ditengah kehidupan padang belantara yang keras (Bilangan 12: 3).

_EAS_

Sumber referensi : Seri Terang Ilahi "Amarah dan Harga yang harus dibayar"

Musa : Pelajaran 1 : “Kesendirian bersama Allah”


Tidak Semudah itu
Selama masa-masa awal perang dunia I, ada kecemasan besar terhadap kapal-kapal selam jerman dan kemampuan rahasia mereka. Dikisahan seorang penulis humor, Will Rogers, sedang ditanyakan oleh wartawan mengenai bagaimana ia mengatasi ancaman dari kapal selam tersebut. Dengan gaya lugas dan apa adanya, rogers menyatakan bahwa ia telah menemukan solusi untuk mengatasi kapal selam tersebut. Yang perlu anda lakukan adalah “cukup dengan merebus lautan tersebut ”, ketika air lautnya menjadi sangat panas dan tak tertahankan lagi maka kapal selam itu akan naik ke permukaan dan anda pun dapat menangkap mereka! Katanya. Wartawan tersebut membalas “lalu, bagaimana caranya anda dapat melakukan hal itu?”. Dengan segera rogers menjawab, “saya hanya menyumbang ide kog, biar orang lain yang memikirkan bagaimana caranya”.


Ada banyak hal yang penting, yang ingin diajarkan Allah kepada musa, diperlukan kasih karunia dan kesabaran-Nya yang terus menerus bekerja dalam hidup musa untuk mencetak, membentuk dan mengajarnya. Ketika menelusuri kehidupan musa, kita akan melihat pelajaran yang dikehendaki Allah supaya diterima oleh musa. Suatu jalan kehidupan yang lebih mulia daripada pergumulan dengan amarah yang jatuh-bangun dan emosi yang dijalani oleh musa.
Yukk.. kita simak beberapa pelajaran yang Allah berikan kepada musa. Dan semoga ini juga bisa menjadi perenungan kita setiap saatnya.

Pelajaran 1 : “Kesendirian bersama Allah”

                Daud, Paulus dan keduabelas rasul tidak hanya sama-sama dipakai luar biasa oleh Allah, tetapi setiap dari mereka juga memiliki satu kesamaan yaitu Mereka dipersiapkan Allah untuk melayani dengan cara menghabiskan banyak waktu untuk menyendiri bersama dengan Allah. Ada banyak hal yang harus dipelajari ditengah padang gurun dan dalam pengalaman hidupnya ketika mengambil waktu untuk menyendiri bersama Allah. Di sanalah kita mulai menghayati betapa besarnya Allah dan betapa kita sangat bergantung kepada-Nya. Ditengah padang gurun, kita mulai menemukan jalan keluar selain daripada jalan amarah yang sering kita pakai untuk membela diri kira sendiri.
                Bagi musa, tempat belajar di padang gurun itu ada di tanah midian. Midian adalah daerah yang memiliki banyak gunung-gunung dengan sejumlah makanan untuk kawanan ternak milik para gembala nomaden. Musa tiba disana karena melarikan diri dari mesir. Namun alangkah indahnya melihat bagaimana Allah memakai pengalaman ditempat itu untuk bekerja bagi kebaikan hidup musa. Masa pelarian itu menjadi masa dimana musa dipersiapkan olah Allah, dilatih dan rohaninya bertumbuh. Ditanah inilah dan dengan kaum inilah (bangsa midian) musa mendapatkan perlindungan dan kedamaian. Musa telah berkelana jauh dari hal-hal yang selama ini ia pikirkan sebagai jalan hidupnya. Di sinilah, ditengah kehidupan yang sederhana ini, musa mulai menerima setiap pelajaran-pelajaran yang ingin Allah ajarkan kepadanya.
Kemudian, Ingatlah bahwa musa telah bertumbuh dibawah pengaruh budaya mesir yang berakar pada politisme. Sebaliknya, bangsa midian adalah kaum monoteis yang masih menyembah Allah abraham. Yitro yang kemudian menjadi mertua musa adalah imam midian (keluaran 2:15 ; 3:1). Kemungkinan pada masa itu midian menjadi satu-satunya tempat dimana musa dapat belajar mengenai Allah yang sejati dan memang kesanalah Allah telah membawanya dan melatihnya.
                Allah tidak hanya memperhatikan apa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rohan kita, Dia juga sanggup menyediakannya.  Tidak hanya menyediakannya, namun Allah juga dengan gigih bekerja dalam hidup kita untuk mewujudkannya. Melalui banyak hal, lewat kesendirian kita dan diam bersama-sama dihadapan Allah dan banyak hal. Saya pikir pasti musa pernah menggelengkan kepalanya, menangis dan berteriak juga bertanya-tanya “kok bisa-bisanya saya ada disini ya/di dalam keadaan ini ya?”, saya membayangannya seperti itu karna saya pun tidak luput dari hal tersebut, bahkan berkali-kali memikirkan hal yang sama mengenai hidup saya sendiri, namun di tengah kesendirian kita bersama Allah kita akan menyadari bagaimana Allah terus menerus memurnikan apa pun yang kita miliki, dan menyikapkan setiap rencana-Nya bagi hidup kita, mempertebal Iman percaya kita dan untuk pelatihan Rohani kita.


_EAS_