Saya tidak
habis-habisnya memikirkan kalimat itu. Berhakkah? Berhakkah manusia yang
dicipta kecewa terhadap Sang Penciptanya? Ini yang menjadi pemikiran saya. Who
are we? We think we deserve the right to claim we are disappointed by God.
Siapakah kita yang berhak mengatakan, “Aku dikecewakan oleh Tuhan. Aku kecewa
terhadap Tuhan.”
Kalimat ini membuat saya
memutar pikiran sepanjang satu hari itu. Teologi apakah ini? Teologi ajaran
apakah yang mengajar manusia, sehingga berani mengatakan, “Allah mengecewakan
saya.” Kalau Allah mengecewakan seseorang, hanya karena beberapa sebab, yaitu:
Pertama, Allah berhutang
kepada saya dan Dia lupa bayar, maka saya kecewa.
Kedua, Allah menipu
saya, akhirnya saya dirugikan, maka saya kecewa.
Ketiga, Allah berjanji
sesuatu, akhirnya Dia tidak melunaskannya, sehingga saya kecewa.
Tiga presuposisi ini,
semuanya tidak memiliki dasar Alkitab. Allah tidak pernah berhutang kepada
manusia. Teologi yang benar mengatakan, manusia berhutang kemuliaan Allah dan
tidak bisa membayar sendiri. Yang seharusnya dikatakan adalah kitalah yang
mengecewakan Tuhan, bukan Tuhan yang mengecewakan kita. Allah tidak pernah
menjanjikan sesuatu yang Dia sendiri tidak melunaskannya, kecuali janji itu
adalah semacam tafsiran manusia dan “misleading” (penyesatan) dari orang yang
salah mengerti Alkitab. Jadi, Allah tidak berhutang kepada saya, Allah tidak
sembarang berjanji kepada saya, Allah tidak mungkin menipu saya.
Jika demikian apakah
penyebabnya? Penyebab pertama adalah adanya pengkhotbah-pengkhotbah yang
memberikan tafsiran yang salah terhadap ayat-ayat Alkitab. Misalnya, yang
percaya kepada Tuhan pasti dapat kekayaan, pasti dapat hidup yang subur, makmur
di dalam materi. Yang percaya kepada Tuhan pasti tidak ada marabahaya,
penyakit, kesulitan, dan kemiskinan. Misalnya lagi, jikalau engkau memberikan
persembahan, Tuhan akan mengembalikan sepuluh kali lipat ganda. Apakah saudara
pernah mendengar khotbah semacam ini? Hal ini terjadi sejak kira-kira 25 tahun
yang lalu, selangkah demi selangkah merambat masuk ke dalam mimbar-mimbar
gereja yang tidak bertanggung jawab. Tetapi setiap statement yang tidak benar,
bisa juga mendapatkan tunjangan dari Kitab Suci. Jadi ada ayat-ayat yang
sepertinya mendukung statement itu, karena dimengerti secara fragmentaris, dan
bukan secara totalitas. Karena mengambil ayat sebagian-sebagian lalu
mengkhotbahkannya, sangat mungkin terjadi misleading bagi orang lain yang
mendengarnya.
Kedua, pengertian yang
tidak membandingkan antara satu ayat dengan ayat yang lain, mengakibatkan tidak
diperolehnya prinsip total Kitab Suci. Mengambil suatu keputusan melalui
bagian-bagian, lalu membuat statement. Hal ini sangat membahayakan. Saudara
sebagai pengkhotbah, sebagai pemimpin gereja, sebagai pembawa firman, sebagai
pemberita kehendak Tuhan, harus menghindarkan diri dari hal-hal semacam itu.
Saya percaya, bukan dia
saja, mungkin seluruh Indonesia berani mengatakan, “Aku kecewa terhadap Tuhan.”
Mungkin sudah puluhan juta orang pernah mempunyai ajaran salah yang menuju pada
konklusi bahwa Allah menipu dia, Allah tidak melunaskan janji-Nya, Allah
berhutang kepada dia sehingga dia berani mengatakan, “Saya kecewa kepada Tuhan.”
Tahun 1965, kalau saya
tidak salah ingat, gunung Agung meletus di Bali. Lavanya mengalir begitu cepat,
sehingga banyak orang yang tidak sempat mengungsi, mendadak terkena lava. Pada
waktu itu saya berada di Bandung, lalu seorang wartawan datang kepada saya,
“Pak Pendeta, bolehkah saya tunjukkan kira-kira 180 foto yang saya ambil dengan
cepat pada waktu orang-orang terkena lava itu?” Saya sedang makan ketika
wartawan itu datang dan duduk di samping saya. Waktu saya melihat foto-foto
tersebut, rasanya saya ingin muntah. Ada orang yang sedang tidur, lavanya
datang dan saat itu juga separuh badannya menjadi tulang, dan separuhnya masih
daging. Di tengah-tengah sambungan antara daging dan tempat tulang itu, ada
satu garis putih yang besar dan bengkak, seperti kulit babi yang digoreng jadi
rambak / krupuk. Bagian yang terkena api panas itu langsung melembung. Satu
bagian masih daging biasa, bagian yang lain, matang menjadi seperti rambak.
Meskipun saya mau muntah tapi saya dikejar oleh kuriositas, jadi satu per satu
foto tersebut saya lihat sambil mau mengeluarkan air mata, sambil mau menangis,
sambil mau berteriak, tetapi tidak bisa. Namun ada beberapa foto yang menggugah
teologi saya, yaitu lava yang sudah dekat kira-kira tiga meter lagi, dan dalam
beberapa detik akan terkena lava, tetapi orang tersebut tidak lari, ia sedang
berlutut berdoa kepada dewa. Waktu saya lihat, saya berpikir, “Wah! Ini begitu
beda dengan orang Kristen. Mengapa ada orang Kristen pada hari lancar, dia
berani berdosa. Sedikit rugi, langsung mencacimaki Tuhan Allah. Mengapa orang
kafir waktu mereka menghadapi kecelakaan, mereka tidak memaki-maki dewa mereka.
Mereka minta pertolongan dewa, jangan sampai memusnahkan mereka. Mereka mengaku
kesalahan, mengaku dosa.” Pemikiran ini terus mempengaruhi saya sampai
sekarang, sudah lebih dari 30 tahun.
Pemikiran itu adalah,
Why?…Why? … What causes that? What causes it to be like that? Apa salahnya
pemberitaan kita? Apa salahnya khotbah kita, sehingga anggota kita selalu
merasa dia sepatutnya menerima anugerah Tuhan dan tidak boleh dirugikan apapun
oleh Tuhan, kalau tidak, Allah harus dicela, dimaki, dipersalahkan, dan
akhirnya dia keluar dari gereja.
Lalu dari situ,
pemikiran saya mulai berkembang pada the theology of suffering, the theology of
worship, the teology of understanding grace, theology of resistant to the
tribulation. Berkembanglah begitu banyak pemikiran saya semenjak melihat 180
foto tersebut. Mengapakah orang-orang Asia dengan sedikit kesulitan,
meninggalkan gereja, keluar dari gereja? Mengapa orang Yahudi yang dibantai,
dibunuh dengan gas, dihancurkan hidupnya, enam juta setengah jiwa, di dalam
holocaust, tetapi mereka tetap menyembah Allah, tetap takut kepada Tuhan dan
mereka tidak pernah meninggalkan iman mereka? Jadi, what’s wrong? Apa yang
salah di dalam pemberitaan kekristenan? Jawaban saya adalah satu kalimat, “Kita
lebih suka memberitakan Allah itu kasih adanya, mengobral murah kasih Allah
daripada berani mengkhotbahkan Allah itu suci dan adil, Dia akan menghakimi
dosa seluruh dunia.”
Dari konklusi ini,
pemikiran saya berkembang lagi, di manakah hamba-hamba Tuhan yang berani
menyatakan tahta kemarahan Tuhan, keadilan Tuhan, kesucian Tuhan, untuk
mengingatkan bangsa dan zaman ini? Semakin lama semakin sedikit. Tetapi pendeta
yang berusaha memberikan injil palsu supaya gerejanya bertumbuh, supaya lebih
banyak orang mendengar khotbahnya dengan kalimat, “Percayalah Tuhan, semua
penyakit akan disembuhkan, semua kesulitan diatasi, semua akan diberikan kepada
engkau” begitu banyak sekali, bahkan di dalam aliran Pantekosta dan Kharismatik
sudah teracun satu pikiran: dengan banyak mujizat yang dilihat, orang akan
beriman.
Namun hari ini saya akan
menunjukkan dua prinsip. Prinsip pertama, Yohanes Pembaptis tidak pernah
melakukan satu mujizat pun, namun banyak orang yang percaya melalui dia. Karena
sifat lurus, jujur, berani, dan tidak mau dipengaruhi oleh dosa sehingga dia
berkhotbah dengan kuasa luar biasa. Itu catatan Alkitab. Yohanes tidak pernah
melakukan satu mujizat pun, teatpi yang percaya karena dia banyak sekali.
Kedua, Islam adalah satu agama yang tidak pernah mengembangkan anggota mereka
melalui daya tarik mujizat. Tidak pernah hal itu terjadi.
Pada zaman filsuf David
Hume, one of the greatest scepticist in the history of human philosophy, ia
mengatakan bahwa salah satu sebab yang dipakai oleh orang Kristen untuk
membuktikan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang sah adalah tidak
adanya mujizat pada agama lain, tetapi hanya ada pada agama Kristen dan dimuat
di dalam Kitab Suci. Tetapi cara dia melawan kekristenan justru dengan
pertanyaan pernahkah mujizat yang dicatat dalam Kitab Suci orang Kristen,
terjadi? Itupun belum bisa dibuktikan. Maka memakai bukti bahwa Kristen ada
mujizat maka Kristen itu sah, pada hakekatnya tidak pernah mempunyai dukungan
bukti. Apakah yang dicatat dalam Kitab Suci sungguh-sungguh pernah terjadi?
Jadi dia menjadi scepticist. Itu namanya to destroy from the foundation the
seeking of Christian foundation.
Orang Kristen pada zaman
itu selalu memakai fondasi-fondasi yang salah yang sebenarnya bukan fondasi
untuk membangun iman. Kalau kita membiasakan diri menjadi pemberita, hoki, fat
choi, property, kesuksesan sebagai imbalan kalau percaya kepada Tuhan, maka
kita akan menciptakan orang-orang yang akhirnya melarikan diri dari kekristenan
dengan kalimat, “Aku tidak lagi ke gereja karena aku kecewa kepada Tuhan, aku
tidak berpelayanan lagi karena aku kecewa kepada Tuhan.” Saudara seharusnya
mempersiapkan diri menjadi hamba Tuhan yang bertanggung jawab dalam pemberitaan
firman, sehingga anggotamu selalu menuntut, “Saya jangan menipu Tuhan, saya
jangan berhutang kepada Tuhan, saya harus menepati apa yang saya janjikan
kepada Tuhan.” Dan bukan berkata, “Tuhan berutang kepada saya, Tuhan menipu
saya, apa yang Tuhan janjikan, tidak saya dapatkan, maka saya berhak melawan
dan kecewa kepada Dia.” Kiranya renungan pendek ini menjadi kekuatan bagi kita
untuk menegakkan kembali kebenaran di dalam zaman ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar